BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Telinga
merupakan salah satu alat indera dalam tubuh seseorang. Telinga mempunyai
bagian-bagian yang sensitive di dalamnya, bagian dari telinga juga rentan akan
mengalami kerusakan oleh berbagai faktor. Salah satu fungsi utama dari telinga
adalah untuk mendengar, mendengar adalah hal yang penting dalam melakukan
komunikasi maupun dalam kehidupan sehari-hari. Telinga sebagai organ
pendengaran dan ekuilibrium, berisi reseptor-reseptor yang menghantarkan
gelombang suara ke dalam impuls-impuls saraf dan reseptor yang berspon pada
gerakan kepala.
Ada banyak jenis gangguan telinga pada manusia, salah
satunya adalah tuli toksik dan presbikusis. Tuli toksik (Ototoksisitas) adalah kerusakan koklea
atau saraf pendengaran dan organvestibuler yang berfungsi mengirimkan informasi
keseimbangan dan pendengarandari labirin ke otak yang disebabkan oleh zat-zat
kimia atau toxin (obat-obatan). Sedangkan Presbikusis adalah tuli saraf
sensorineural frekuensi tinggi, terjadi pada usia lanjut, simetris kiri dan
kanan, disebabkan proses degenarasi di telinga dalam (Mansjoer, dkk. 2009).
Makalah ini menjelaskan tentang konsep teori tentang tuli toksik dan presbiakusis serta asuhan keperawatan pada pasien dengan tuli
toksik dan dan asuhan keperawatan pada pasien dengan presbiakusis.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
bagaimana konsep penyakit
dari tuli toksik dan presbiakusis?
1.2.2
bagaimana asuhan
keperawatan pada klien yang mengalami tuli toksik dan presbiakusis?
1.3
Tujuan
1.3.1
mengetahui konsep penyakit dari tuli toksik dan presbiakusis;
1.3.2
mengetahui
asuhan keperawatan pada klien yang mengalami tuli toksik dan presbiakusis
1.4
Implikasi
Keperawatan
1.4.1
Perawat sebagai edukator
Perawat
memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit tuli toksik dan presbiakusis dengan bahasa yang mudah dipahami.
1.4.2
Perawat sebagai konselor
a.
Perawat memberikan konseling mengenai prosedur dalam
menjalani perawatan tuli toksik dan
presbiakusis.
b.
Perawat memberikan konseling kepada keluarganya
mengenai peran keluarga dalam menghadapi pasien.
c.
Perawat membantu pasien dalam memecahkan masalah
dengan memberikan pilihan-pilihan yang terbaik guna
mendapatkan pelayanan dan penatalaksanaan untuk pasien tuli toksik dan
presbiakusis
1.4.3
Perawat sebagai advokasi
a.
Perawat melindungi hak-hak pasien tuli toksik dan presbiakusis,
dalam mendapatkan pelayanan dan penatalaksanaan yang sesuai.
b.
Perawat
memberikan saran - saran kepada pasien dan keluarganya jika pasien dihadapkan pada suatu permasalahan, dengan membantu menyelesaikannya dan tidak lupa menjelaskan tentang baik
buruknya dari setiap pilihan.
1.4.4
Perawat sebagai care
giver
Perawat
memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada pasien yang menderita penyakit tuli toksik dan presbiakusis,
dan memberikan pelayanan yang tepat saat pasien dirawat.
BAB
2. TINJAUAN TEORI
2.1
Review Anatomi Fisiologi Telinga
Bagian
utama telinga dalam terdiri dari dua yaitu koklea (rumah siput), merupakan dua
setengah lingkaran yang berfungsi sebagai organ pendengaran dan vestibulum yang
terdiri dari tiga buah kanalis semirkularis. Pada irisan melintang koklea
tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala
media diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa sedangkan
skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda
dengan endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut membran vestibuli sedangkan
dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ
corti.


Energi
getar yang telah diamplikasi ini diteruskan ke stapes yang akan mengerakkan
tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran ini
diteruskan melalui membran reissner yang mendorong endolimfa, sehingga
menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses
ini merupakan rangsang mekanik yang akan menyebabkan terjadinya defleksi
stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan
ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis
yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke
nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus
temporalis.

2.2
Tinjauan Teori Tuli Toksik
2.2.1
Pengertian
Tuli
toksik (Ototoksisitas) adalah kerusakan koklea atau saraf pendengaran dan
organvestibuler yang berfungsi mengirimkan informasi keseimbangan dan
pendengarandari labirin ke otak yang disebabkan oleh zat-zat kimia atau toxin
(obat-obatan). Ototoksik adalah gangguan yang terjadi pada alat pendengaran
yang terjadi karenaefek samping dari konsumsi obat-obatan. Gangguan yang
terjadi pada pendengaran biasanya bermanifestasi menjadi tuli sensoryneural.
Yang dapat bersifat reversibel dan bersifat sementara, atau tidak dapat diubah
dan permanen.
2.2.2
Epidemiologi
Beberapa
peneliti melaporkan toksisitas auditori mencapai 41%, sedangkan peneliti yang
lain melaporkan angka yang jauh lebih rendah yaitu 7%. Data yang terkumpul dari
penelitan meta-analisa memperlihatkan sekitar 5% insiden toksisitas auditori
karena konsumsi aminoglikosida dengan dosis ganda perhari. Toksisitas
vestibuler telah dilaporkan berada pada kisaran 0-7% pada pasien yang
mendapatkan aminoglikosida.
2.2.3
Etiologi
Ototoksisitas
disebabkan oleh obat atau zat kimia yang merusak telinga bagian dalam atau
saraf vestibulocochlear, yang mengirim info keseimbangan dan pendengaran dari
telinga bagian dalam ke otak. Otoksisitas dapat menyebab gangguan pendengaran,
keseimbangan, atau keduanya baik untuk sementara waktu atau permanen. Banyak
zat kimia yang berpotensi bersifat ototoksik, baik itu berupa obat atau zat
kimia yang ada di lingkungan kita. Obat apapun yang berpotensi menyebabkan
reaksi toksik terhadap struktur dalam telinga, yang mencakup koklea,
vestibulum, kanalis semisirkularis, dan otolit, dianggap sebagai obat
ototoksik.
Sudah
sering terdengar bahwa hampir semua obat mempunyai efek samping. Salahsatunya
adalah obat-obatan yang menimbulkan gangguan pada pendengaran yang
merupakanefek samping obat yang serius dan sering terjadi. Dengan makin banyak
obat-obatan patenyang beredar di pasaran, kemungkinan daftar obat-obatan yang
mempunyai efek samping pada telinga juga makin bertambah. Dari abad ke- 19
hingga kini telah banyak diketahuiobat-obatan yang menimbulkan gangguan pada
telinga diantaranya yaitu:
A. Golongan Aminoglikosida
Sejak
diperkenalkan pada tahun 1944, banyak sediaan aminoglikosida menjadimudah
didapatkan seperti, streptomisin, dihidrostreptomisin, kanamisin, gentamisin, neomisin,
tobramisin, netilmisin, dan amikasin. Aminogikosida bersifat bakterisidyang
berikatan dengan Ribosom 30S dan menghambat sistesis protein bakteri. Aminogikosida
hanya efektif pada basil gram negatif aerobik dan stafilokokus. Neomisin dan
kanamisin memiliki spektrum antibakteri yang terbatas serta lebihtoksik dari
pada aminoglikosida lainnya. Aminoglikosida memiliki efek toksik terhadap
koklea dan vestibuler yang bervariasi. Streptomisin dan gentamisin terutama
bersifat vestibulotoksik, sedangkan amikasin, neomisin, dihidrostreptomisin,
dan kanamisin bersifat kokleotoksik. Tobramisin berefek sama pada fungsi
vestibuler maupun auditorik.
Efek
ototoksik pada netilmisin sedikit diketahui karena penggunaannya yang sudah
jarang juga karena memiliki potensi efek ototoksik yang rendah. Toksisitas
aminoglikosida tertutama pada ginjal dan sistem kokleovestibuler walaupun tidak
ditemukan hubungan yang jelas antara derajat nefrotoksik danototoksik.
Toksisitas koklear yang menyebabkan gangguan pendengaran biasanya dimulai pada
frekuensi tinggi dan efek sekundernya menyebabkan dekstruksiireversibel sel
rambut luar organ Corti, terutama pada lengkungan basal koklea.Insidensi efek
ototoksik aminoglikosida sekitar 10%.
Aminoglikosida
dieksresi di ginjal, oleh karena itu pada pasien dengan gangguan ginjal
bilateral,kandungan serum aminoglikosida akan meningkat sehingga akan
meningkatkan resiko ototoksik. Aminoglikosida membutuhkan waktu lebih lama
dibersihkan dari perilimfe daripada dari serum. Umumnya efek ototoksik
merupakan bukti adanyakehilangan sel rambut, yang dimulai pada lengkung basal
koklea dan kemudian berjalan ke apeks. Deretan dalam dari sel rambut bagian
luar terkena terlebih dahulu,diikuti oleh kerusakan dua deretan terluar. Untuk
alasan yang belum diketahui, selrambut bagian dalam dilindungi ketika tedadi
efek ototoksik dengan kerusakan totalorgan Corti. Kerusakan akut sistem
auditorik sering tejadi pada aminoglikosida, tetapi ditutupi oleh keluhan
tinnitus. Gangguan pendengaran biasanya terjadi pada frekuensitinggi tetapi
dapat terjadi pada frekuensi rendah. Manusia dapat mendengar frekuensilebih
dari 16.000 Hz, tapi audiometer hanya bisa mendeteksifrekuensi dibawah 8.000Hz.
Karena pasien tidak bisa mengenali kehilangan pendengaran sampai
merekakehilangan 20 dB, atau sekitar 3.000 – 4.000 Hz, akan sangat sulit
mengetahuiseorang pasien mengalami efek ototoksik atau tidak. Efek ototoksik
akan tampak 2 – 3 minggu setelah obat-obat tersebut berhenti digunakan secara
permanen. Adapun obat-obat golongan Aminoglikosida yaitu :
1. Streptomisin
Untuk
suntikan tersedia bentuk bubuk kering dalam vial yang mengandung 1 atau 5 gr
dengan dosis 20 mg/kgBB secara IM, maksimum 1gr/hari selama 2 sampai 3 minggu.
Kemudian frekuensi diturunkan menajadi 2-3kali seminggu. Dosis ini harus
dikurangi untuk penderita usia lanjut, anak-anak, orang dewasa badannya kecil
dan gangguan fungsi ginjal serta memperhatikan cara pemberiandan cara
penyuntikan tergantung dari jenis dan lokasi infeksi.
Obat
ini utamanya berefek vestibulotoksik sehingga menyebabkan vertigo sebelum
tedadinya tinnitus dan gangguan pendengaran. Efek ototoksik dan efrotoksik
terjadi bila diberikan dalam dosis besar dan lama. Penggunan 1gram perhari obat
ini selama 10 hari tidak menyebabkan sindrom vestibular. Penggunaan 2 gram
perhari selama 14 hari dilaporkan menyebabkan sindromvestibules pada 60 – 70 %
pasien atau pada pasien yang mendapatkan dosis total 10-12 gr dapat mengalami
hal diatas. Hingga dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan audiometri basal dan
berkala pada meraka yangmendapatkan obat ini.
Ototoksik
sangat tinggi terjadi pada kelompok usia 65 tahun dan pada oranghamil tidak
boleh melebihi dosis total 20 gram dalam 5 bulan terakhir kehamilanuntuk
mencegah ketulian pada bayi (tuli congenital). Temuan histologik efek ototoksik
streptomisin adalah sebagai berikut :
a) Kehilangan sel rambut bagian luar secara
terpencar di lengkung basal ataskoklea
b) Kerusakan berat pada epitel sensoris
Krista semua saluran
c) Stereosilia di dalam ampula saluran
mengalami pembengkakan dandiameternya menjadi dua kali lebih besar
2. Dihidrostreptomisin
Dihidrostreptomisin
dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang beratdan tidak menentu bahkan
sampai setelah 2 bulan setelah dihentikan. Ketulian tidak bisa, diramalkan
serta tidak bergantung pada dosis obat yang diberikan. Karena efek ototoksiknya
yang besar serta kegunaannya yang tidak lebih bagus daripada streptomisin, obat
ini telah ditarik dari peredaran di Amerika Serikat.
3. Neomisin
Neomisin
tersedia untuk penggunaan topikal dan oral, penggunaannya secara parenteral
tidak lagi dibenarkan karena toksisitasnya. Salep mata dan kulit mengandung 5
mg/gr untuk digunakan 2-3 kali sehari. Untuk oral tersedia tablet250 mg. Dosis
oral neomisin dapat mencapai 408gr sehari. Penyerapan neomisin tidak terlalu
bagus bila diberikan secara oral maupun topikal. Walaupun demikian obat ini
tetap diberikan secara tetes telinga karena efek ototoksik yang rendah. Tetapi
penggunaan berulang pada jaringan yang meradang dapat menyebabkan tuli yang
irreversibel. Dosis parenteral 5 - 8gram neomisin lebih dari 4 - 6 hari dapat
menyebabkan tinnitus dan tuli ireversibel.
Gangguan
pendengaran dihubungkan dengan nilai diskriminasi percakapan rendah. Neomisin,
streptomisin dan kanamisin dibersihkan lebih lambat dari perilimfe dari bagian
tubuh lainnya, menyebabkan efek ototoksik yang tertunda dan terjadi 1-2 minggu
setelah obat dihentikan. Penemuan histologik pada efek ototoksik neomisin AMA:
a. Kerusakan sel rambut bagian luar dan
bagian dalam
b. Kerusakan parsial sel pilar
c. Atropi parsial stria vaskularis
d. Kehilangan sedikit sel Deiter dan sel
Hensen
e. Makula dan Krista biasanya normal
4.
Gentamisin
Gentamisin
buruk absorpsinya melalui oral dan harus diberi secara parateraluntuk
penggunaan sistemik. Ketika diberi melalui IM, kadar puncak tercapai pada 0.5 –
1 jam. Eliminasi pada serum kira-kira 2 jam pada pasien dengan fungsiginjal
normal. Konsentrasi puncak gentamisin tercapai pada akhir infus selama 2 jam
dengan dosis 1 mg/ Kg pada pasien dengan kadar rata-rata 4,5µg/mL ( antar 0,5 –
8 µg/mL). Konsentrasi aminglikosid pada serum harus dimonitor untuk memastikan
kadar yang adekuat dan untuk menghindari efek toksik. Harus dihindari kadar
diatas 12 µg/mL untuk menurukan resiko gagal ginjal danterjadinya toksisitas
nervus kranial. Sedangkan pada pemberian secara IM, kadar diatas 10 – 12 µg/mL dianggap
menimbulkan efek toksik.
Gentamisin,
seperti juga streptomisin lebih mengenai vestibuler dari pada auditorik. Kadar
efektif untuk infeksi sedang dan berat adalah 6-8ug/ml, untuk infeksi gawat
8-10 ug/m dan kadar toksik potensial lebih dari10-12 ug/ml. Dosisnya
disesuaikan pada pasien dengan gangguan ginjal, lanjut usia, kegemukkan,
sepsis, gagal jantung, luka bakar, dialisis dan neonatus. Pada sebuah
penelitian diketahui bahwa gentamisin menyebabkan efek ototoksik sebesar 10 -15
%.
5. Kanamisin
Untuk
suntikan tersedia larutan dan bubuk kering. Larutan dalam vialekuivalen dengan
basa kanamisin 500 mg/2 ml dan 1 gr/ 3 ml untuk orang dewasaserta 75 mg/2 ml
untuk anak. Untuk pemberian oral kapsul/tablet 250 mg dan sirup 50 mg/ml. Dosis
oral untuk anak adalah 50 mg/kgBB sehari dibagi 4 kali pemberian, untuk orang
dewasa dapat mencapai 8 gr sehari. Dosis awal pada dewasa dan anak dengan
dehidrasi 5-7,5 mg/kgBB, normal 7,5 mg/kgBB dan neonatus 10mg/kgBB. Kadar
efektif dalam serum untuk infeksi sedang berat 20-25 ug/ml, infeksi berat 25-30
mg/ml dan kadar dalam plasma yang berpotensi menimbulkan toksik lebih dari 32
ug/ml.
Pada
pasien yang fungsi ginjalnya normal, 15mg/kg/hari kanamisin akan menyebabkan
gangguan pendengaran ringan. Efek ototoksik kanamisin tidak seberat neomisin,
tetapi seperti halnya neomisin, efeknya terutama pada koklea. Kanamisin
menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural. Diantara obat-obat
aminoglikosida, kanamisin paling sering menyebabkan kerusakan koklea
unilateral. Penemuan histologik efek ototoksik kanamisin adalah :
a. Kerusakan sel-sel rambut bagian dalam
dan luar
b. Sering tidak menyebabkan perubahan sel
penyokong
c. Krista saluran semisirkuler normal, oleh
karena itu degenerasi neuraltidak signifikan
2. Antibiotik lainnya
1. Eritromisin
Termasuk
ke dalam golongan makrolid yang bekerja menghambat sintesis protein kuman
dengan dan bersifat bakteriostatik atau bakterisid tergantung dari jenis kuman
dan kadarnya. Obat ini tersedia dalam kapsul/tablet250 mgdan 500 mg dengan
dosis dewasa 1-2 gr/hari dibagi dalam 4 dosis dapat ditingkatkan 2 kali lipat
pada infeksi berat, anak-anak dengan dosis 30-50mg/kgBB sehari dibagi dalam 4
dosis. Kadar puncak dalam darah 0,3-1,9ug/ml yang mana ini dapat dicapai dengan
dosis oral 500 mg dalam waktu 4 jam. Dosis lebih dari 4 gram/hari meningkatkan
efek ototoksik, gejalanya umurnnya terlihatdalam 4 hari dan biasanya gangguan
pendengaran dapat pulih setelah pengobatan dihentikan.
Gejala
pemberian eritromisin intravena terhadap telinga tengah adalah kurang
pendengaran subjektif, tinnitus yang meniup dan kadang-kadang vertigo. Tuli sensorineural
pernah dilaporkan terjadi pada anak-anak maupun dewasa, terjadi tuli
sensorineural nada tinggi dan tinnitus setelah pemberian intraverna dosistinggi
atau secara oral. Biasanya gangguan pendengaran dapat pulih setelah obat dihentikan.
2. Vankomisin
Beberapa
gejala yang sering muncul pada ototoksik pada umumnya adalahtinitus dimana ini
terjadi pada pasien dengan konsentrasi serum vankomisin yangtinggi pada gagal
ginjal atau pada pasien yang mendapatkan terapi aminoglikosidasecara bersamaan,
digunakan dalam waktu yang lama, dan dalam dosisyang besar.
3. Diuretik
Dua
diuretik penyebab utama efek ototoksik adalah furosemid dan asametakrinat.
Dimana kedua obat ini merupakan diuretik yang efeknya sangat kuatdibandingkan
dengan yang lain. Manifestasi ototoksiknya adalahgangguan pendengaran
sensorikneural, tinnitus dan vertigo. Asam etakrinat dapatmenyebabkan ketulian
sementara maupun menetap dan hal ini merupakan efek samping yang serius.
Ketulian sementara juga dapat terjadi pada furosemid. Ketulianini mungkin
sekali disebabkan oleh perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfe.
Ototoksisitas
merupakan suatu efek samping unik kelompok obat ini. Bila karenasuatu hal
diperlukan pemberian obat yang juga bersifat ototoksik, misalnya aminoglikosida,
sebaiknya dipilih diuretik lainnya, misalnya tiazid. Efek ototoksik tampak pada
sistem dari penghambatan sodium- pomsium ATPase koklear, menyebabkan perubahan
komposisi elektrolit endolimfe. Gangguan pendengaran pada asam etakrinat dan
furosemid umumnya sementara tapidapat juga bersifat permanen. Efek ototoksik
bumetanide lebih rendah dari diuretik lainnya.
Asam
etakrinat menyebabkan kerusakan lapisan pertengahan striavaskuler dansel rambut
bagian luar dari organ Corti, lebih parah pada lengkung basal. Gangguan
pendengaran dapat sementara maupun permanen. Ototoksik berhubungan dengan
pemberian cepat secara IV, kerusakan ginjal, dosis besar, dan penggunaan
denganobat ototoksik lain. Insidensi lebih tinggi dibandingkan dengan
penggunaan loopdiuretik. Pemberian secara IV harus diencerkan dengan D5W or NS
(1 mg/mL) dandilakukan melalui infus selama beberapa menit. Efek sementara
dapat merupakansekunder dari efek pada enzim-enzim respirasi (succinate
dehidrogenase dan ATPase)dalam organ Corti dan stria vaskuler. Kandungan Sodium
endolimfe berkurang.Gejala yang timbal berupa tuli,tinnitus dan vertigo.
4. Salisilat
Asam
salisilat dan derivatnya yang lebih dikenal dengan sebagai asetosal danaspirin
sering dipakai sebagai analgetik, antiperitik, keratolitik dan antireumatik. Gejala
toksik umumnya berupa asidosis metabolik sedangkan gejala utama
berupasalisilismus, dan beberapa tahun ini ototoksik akibat salisilat banyak
diteliti olehkarena terapi aspirin dosis tinggi pada arthritis rematoid.
Salisilat
termasuk aspirin dapat mengakibatkan tuli sensori neural frekuensitinggi,
bilateral dan tinnitus. Tetapi bila pengobatan dihentikan pendengaranakan pulih
dan tinnitus akan hilang. Keracunan salisilat yang berat dapat menimbulkan
kematian, tetapi umumnya keracunan salisilat bersifat ringan. Gejalanya adalah
nyeri kepala, pusing, tinnitus, gangguan pendengaran, penglihatankabur, rasa
bingung, cemas, rasa kantuk, banyak keringat, haus, mual dan muntah.
5. Anti Kanker
Cisplatin
adalah anti kanker yang paling luas penggunaannya, namun sayangnya bersifat
kokleotoksik dan nefrotoksik. Toksisitas cisplatin sinergis dengan
gentamisindan pada dosis tinggi cisplatin telah dilaporkan dapat menyebabkan
tuli total. Pada binatang percobaan, ototoksisitas cisplatin berhubungan dengan
peroksidasi lipid.Carpolatin dan cisplatin diklasifikasikan sebagai agents,
keduanya merusak sel-selkanker (dan beberapa seltubuh yang sehat juga ikut
rusak) dengan cara merusak DNAdari sel tersebut.
Gejala
yang ditimbulkan cisplatin sebagai ototoksisitas adalah tuli subjektif,tinnitus
dan otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan keseimbangan. Tuli
biasanya bersifat bilateral dimulai dengan frekuensi antara 6 KHz dan 8
KHz,kemudian pada frekuensi yang lebih rendah. Tinnitus biasanya samar-samar,
bila tuliringan maka akan pulih pada penghentian pengobatan, tetapi bila
tulinya berat biasanya menetap.
6. Obat Topikal Telinga
Banyak
obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan aminoglikosidaseperti
neomisin dan polimiksin B, keduanya memiliki efek neurotoksik dan nefrotoksik.
Obat-obatan tersebut menjadi ototoksik bila diberikan pada pasien dengan
perforasi membran timpani. Terjadinya ketulian oleh karena obat Nomisin dan
polimiksin B terjadi karenaobat tersebut dapat menembus tingkap bundar. Uji
klinik dan uji pada hewanmenyebutkan bahwa siprofloksasin dan ofloksasin tidak
memiliki bukti yangsignifikan menyebabkan ototoksik. Ofloksasin topikal
biasanya dikombinasikan dengan Cortisporin Otic Suspension (COS) dan obat tetes
mata gentamisin. Selrambut utama dapat rusak yang disebabkan oleh COS dengan
kehilangan sekitar 65%.Ofloksasin meskipun diberikan tiga kali sehari tidak
menghasilkan kerusakan koklear yang berarti.
2.2.4
Tanda dan gejala
Gejala
dini gangguan pendengaran pada ototoksisitas aminoglikosida sulit dikenali oleh
pasien karena hanya bermanifestasi pada frekwensi tinggi. Pada keadaan lanjut mempengaruhi
frekwensi percakapan dan ketuliannya akan semakin berat jika penggunaanobat ini
diteruskan. Pada audiogram ditemukan ciri penurunan yang tajam untuk
frekuensitinggi.
Tanda
dan gejala untama yaitu adanya Tinitus dan vertigo. Tinitus biasanya menyertai
segala jenis tuli sensorineural yang ditandai dengan keluhan pertama yang
muncul serta mengganggu jika dibandingkan dengan tulinya sendiri dimana pada
ototoksik tinitus cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai
6 KHz serta biasa bilateral. Pada kerusakan yang menetap, tinnitus lama
kelamaan tidak begitu kuat tetapi juga tidak pernah hilang, gejala lainnya juga
terdapat gangguan keseimbangan badan, sulit memfiksasi pandangan, terutama
setelah perubahan posisi, ataksia (kehilangan koordinasi otot) dan oscillopsia
(pandangan kabur dengan pergerakan kepala) tanpa adanya riwayat vertigo
sebelumnya, menyebabkan kesulitan melihat tanda lalu lintas ketika mengendarai
kendaraan atau mengenali wajah orang ketika berjalan.
2.2.5
Patofisiologi
Mekanisme
dari tuli akibat ototoksik masih belum begitu jelas. Patologinya meliputi hilangnya
sel rambut luar yang lebih apical, yang diikuti oleh sel rambut dalam. Hal ini
permulaannya menyebabkan gangguan pendengaran frekuensi tinggi yang dapat
berlanjut kefrekuensi rendah. Pasien-pasien tertentu tidak mengetahui adanya
gangguan pendengaran hingga defisit mencapai deraja tringan sedang ( >30 dB
hearing level ) pada frekuensi percakapan. Kebanyakan poin yang terbukti saat
ini adalah terdapat pengikatan obat dengan glikosaminoglikan stria vaskularis,
yang menyebabkan perubahan strial dan perubahan sekunder sel-sel rambut.
Antibiotik ototoksik menyebabkan hilangnya pendengaran dengan mengubah
proses-proses biokimia yang penting yang menyebabkan penyimpangan metabolik
dari sel rambut dan bisa menyebabkan kematian sel secara tiba-tiba.
Efek
utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga adalah hilangnya sel-sel
rambutyang dimulai dari basal koklea, kerusakan seluler pada stria vaskularis,
limbus spiralis dansel-sel rambut koklea dan vestibuler. Kerusakan vestibuler
juga merupakan efek yang merugikan dari antibiotik aminoglikosida dan awalnya
menunjukkan nistagmus posisional.Pada keadaan berat, kerusakan vestibuler dapat
menyebabkan ketidakseimbangan dan osilopsia. Osilopsia, yang disebabkan oleh
kerusakan sistem vestibuler bilateral, adalah ketidakmampuan sistem okuler
untuk menjaga horizon yang stabil.
2.2.6
Komplikasi dan prognosis
Prognosis
sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan,kerentanan
pasien, adanya faktor resiko seperti gagal ginjal akut ataupun kronis dan
penggunaan obat ototoksik yang lain secara bersamaan akan tetapi pada umumnya
prognosistidak begitu baik dan malah makin memburuk.
2.2.7
Pengobatan
Tuli
yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila pada waktu
pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam dapat
diketahui secaraaudiometrik, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus
segera dihentikan. Beratringan ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis
obat, jumlah dan lamanya pengobatan.Kerentanan pasien termasuk yang menderita
insufisiensi ginjal dan sifat obat tersendiri.Apabila ketulian sudah terjadi
dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain dengan alatBantu dengar (ABD),
psikoterapi, auditory training, termasuk cara menggunakansisa pendengaran
dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan belajar membaca
bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral dapat dipertimbangkan pemasangan
implan koklea.
2.2.8
Pencegahan
Dalam
melakukan pencegahan harus mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik,
menilai kerentanan pasien monitoring ketat level obat dalamserum dan fungsi
ginjal harus baik sebelum, selama dan setelah terapi. Cara lain adalah dengan
mengukur fungsi audiometri sebelum terapi, memonitor efek samping secara dini, yaitu
dengan memperhatikan gejala-gejala keracunan telinga dalam yang timbul
sepertitinnitus, kurang pendengaran dan vertigo.
Pada
pasien-pasien yang telah mulai menunjukkan gejala tersebut diatas harus
dilakukan evaluasi audiologik dan segera menghentikan pengobatan dan baiknya
antibiotik yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran baiknya tidak diberikan
pada wanita hamil, berusialanjut dan orang-orang yang sebelumnya pernah menderita
ketulian dan sebaiknya dilakukan pemantauan terhadap kadar obat dalam darah
jika memungkinkan baik sebelum dan selama pengobatan berlangsung.
2.3
Tinjauan Teori Presbikusis
2.3.1
Pengertian
Presbikusis
adalah tuli saraf sensorineural frekuensi tinggi, terjadi pada usia lanjut,
simetris kiri dan kanan, disebabkan proses degenarasi di telinga dalam
(Mansjoer, dkk. 2009).
Prebiskusis
adalah tuli sensorineural pada usia lanjut akibat proses degenerasi organ
pendengaran, simetris (terjadi pada kedua sisi telinga) yang terjadi secara
progresif lambat, dapat dimulai pada frekuensi rendah atau tinggi serta tidak
ada kelainan yang mendasari selain proses menua secara umum.
2.3.2
Epidemiologi
Presbikusis
dialami sekitar 30-35% pada populasi berusia 65-75 tahun dan 40-50% pada populasi
di atas 75 tahun. Prevalensi pada laki-laki sedikit lebih tinggi daripada
wanita. Perbedaan prevalensi presbikusis antar ras belum diketahui secara pasti
(Lee FS 2005 dan Cruickhanks 1998). Presbikusis pada sebagian orang sudah
timbul pada usia 40 tahun atau disebut presbiakusis prekoks, tetapi yang lain
pada usia 80 tahun masih mempunyai pendengaran baik. Timbulnya presbikusis
berbeda-beda tiap orang, karena presbikusis ini juga dipengaruh oleh beberapa
faktor (Wiyadi, 1984).
Laporan
National Institute on Aging
memberikan informasi sepertiga penduduk Amerika antara usia 65-74 tahun dan
separuh penduduk berusia 85 tahun ke atas memilki gangguan pendengaran jenis
ini (Kakarlaudi, 2003). Prevalensi tersebut meningkat pada tahun 2030 menjadi
70 juta orang. Jumlah penduduk di Indonesia dengan usia lebih dari 60 tahun
pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 19,9 juta atau 8,48% dan tahun 2025
diperkirakan penderita presnikusis akibat usia lanjut tersebut akan meningkat
menjadi empat kali lipat dan merupakan jumlah tetinggi di dunia (Maria, 2009).
Penelitian
di Qatar mengatakan frekuensi laki-laki lebih banyak 52,6% dibanding perempuan
49,5%. Berdasarkan penelitian di South Carolina USA, ditemukan frekuensi
laki-laki 52,1% lebih banyak dari perempuan 48,4%. Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang telah dilakukan, laki-laki mempunyai frekuensi lebih banyak
daripada perempuan mengingat bahwa riwayat bising dapat mempengaruhi terjadinya
presbikusis yang dihubungkan bahwa laki-laki lebih banyak bekerja dan mendapat
paparan sura bising di dalam maupun di luar lingkungan kerja.
2.3.3
Etiologi
Menurut Boedhi
& Hadi (1999), ada dua jenis penyebab presbikusis yaitu sebagai berikut:
1. Internal
Degenerasi
primer aferen dan eferen dari koklea, degenerasi primer organ corti penurunan
vascularisasi dari reseptor neuro sensorik mungkin juga mengalami gangguan.
Sehingga baik jalur auditorik dan lobus temporalis otak sering terganggu akibat
lanjutnya usia.
2. Eksternal
Terpapar
bising ynag berlebihan, penggunaan obat ototoksik dan reaksi pasca radang.
Presbikusis
terjadi karena adanya degenerasi yang
dipengaruhi oleh beberapa factor risiko. Factor-faktor risiko yang mempengaruhi
terjadinya presbiakusis yaitu:
- Usia dan jenis kelamin
Kebanyakan orang yang berusia 60-65 tahun banyak yang menderita
presbiakusis. Presbikusis lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada
perempuan, hal ini disebabkan laki-laki lebih sering terpapar suara bising
daripada perempuan.
- Hipertensi
Hipertensi kronik dapat memperberat tahanan vaskuler
yang mengakibatkan peningkatan viskositas darah, penurunan aliran darah kapiler
dan transport oksigen ke organ telinga dalam, terjadi kerusakan sel-sel
auditori dan proses transmisi sinyal dapat terganggu (Maria, 2009).
- Diabetes militus
Pada penderita diabetes militus terjadi penimbunan advanced glicosilation end product
(AGEP), bertambahnya AGEP akan mengurangi elastisitas dinding pembuluh darah
(arteriosklerosis), dinding pembuluh darah semakin menebal dan lumen menyempit
yang disebut mikroangiopati. Akibat mikroangiopati organ koklea akan terjadi
atrofi dan berkurangnya sel rabut. Neuropati terjadi akibat mikroangiopati pada
nervus VIII (auditorius), ligamentum dan ganglion spiral ditandai kerusakan sel
Schwann, degenerasi myelin, dan kerusakan akson. Akibat proses ini dapat
menimbulkan penurunan pendengaran (Abdulbari, 2008).
- Merokok
Rokok mengandung nikotin dan karbonmonoksida,
mempunyai efek mengganggu peredaran darah manusia, bersifat ototoksik secara
langsung, serta merusak sel saraf organ koklea. Karbonmonoksida, menyebabkan
iskemia melalui produksi karboksi-hemoglobin (ikatan antara CO dan
haemoglobin), dimana haemoglobin menjadi tidak efisien mengikat oksigen.
Akibatnya suplai oksigen ke organ korti di koklea akan terganggu dan
menimbulkan efek iskemia. Selain itu, efek lainnya adalah spasme pembuluh
darah, kekentalan darah, dan arteriosklerotik (Karen, 1998).
- Riwayat bising
Pajanan energy bising yang diterima akan berbanding lurus dengan
kerusakan yang terjadi pada telinga. Gangguan fisilogi dapat berupa peningkatan
tekanan darah, percepatan denyut nadi, peningkatan metabolisme basal, dan
vasokonstriksi pembuluh darah. Efek fisiologi tersebut disebabkan oleh
peningkatan rangsang system saraf otonom. Pemajanan yang terus-menerus terhadap
suara yang bising dpat merusak sel-sel rambut yang di dalam koklea (Mills, 2009).
2.3.4
Klasifikasi
Menurut
Shuknecht presbikusis dibagi menjadi empat tipe yaitu sebagai berikut:
a. Presbikusis Sensori
Tipe
ini menunjukkan atrofi epitel disertai hilangnya sel-sel rambut dan sel
penyokong organ corti. Proses berasal dari bagian basal koklea dan
perlahan-lahan menjalar ke darah apeks. Perubahan ini berhubungan dengan
penurunan ambang frekuensi tinggi, yang dimulai setelah usia pertengahan. Secar
histology, atrofi dapat terbatas hanya beberapa millimeter awal dari basal
koklea dan proses berjalan dengan lambat. Beberapa teori mengatakan perubahan
ini terjadi akibat akumulasi dari granul pigmen lipofusin. Cirri khas dari tipe
sensory presbiakusis ini adlah terjadi penurunan pendengaran secara tiba-tiba
pada frekuensi tinggi.
b. Presbikusis Neural
Tipe
ini memperlihatkan atrofi sel-sel saraf di kolea dan jalur saraf pusat. Atrofi
terjadi mulai dari koklea, dengan bagian basilarnya sedikit lebih banyak
terkena disbanding sisa dari bagia koklea lainnya. Tidak didiapati adnya
penurunan ambang terhadap frekuensi tinggi bunyi. Keparahan tipe ini
menyebabkan penurunan diskriminasi kata-kata yang secara klinik berhubungan
denga presbiakusis neural dan dapat dijumpai sebelum terjadinya gangguan
pendengaran. Efeknya tidak disadari sampai seseorang berumur lanjut sebab
gejala tidak akan timbul sampai 90% neuron akhirnya hilang. Pengurangan jumlah
sel-sel neuron ini sesuai dengan normal speech discrimination. Bila jumlah
neuron ini berkurang di bawah yang dibutuhkan untuk transmisi getran,
terjadilah neural presbyacsis. Menurunnya jumlah neuron pada koklea lebih parah
terjadi pada basal koklea. Gambaran klasik: speech discrimination sangat
berkurang dan atrofi yang luas pada ganglion spiralis (cookie-bite).
c. Presbikusis strial
Tipe
presbiakusis yang sering didapati dengan cirri khas kurang pendengaran yang
mulai timbul pada decade ke-6 dan berlangsung perlahan-lahan. Kondisi ini
diakibtakan atrofi stria vaskularis. Histology: atrofi pada stria vaskularis,
lebih parah pada separuh dari apeks koklea. Stria vaskularis normalnya
berfungsi menjaga keseimbangan bioelektrik, kimiawi dan metabolic koklea.
Proses ini berlangsung pada seseorang yang berusia 30-60 tahun. Berkembang
dengan lambat dan mungkin bersifat familial. Dibedakan dari tipe presbikusis
lain yaitu pada strial presbiakusis ini gambaran audiogramnya rata, dapat mulai
frekuensi rendah, speech
discrimination bagus sampai batas minimum
pendengarannya melebihi 50 dB (flat). Penderita dengan kasus kardiovaskular
(heart attacks, stroke, intermittent claudication) dapat mengalami presbikusis
tipe ini serta menyerang pada semua jenis kelamin namun lebih nyata pada
perempuan.
d. Presbikusis konduktif koklea
Tipe
kekurangan ini disebabkan gangguan gerakan mekanis di membrane basalis.
Gambaran khas audiogram yang menurun dan simetris. Histology: tidak ada
perubahan morfologi pada struktur koklea ini. Perubahan atas respon fisik
khusus dari membrane basalis lebih besar di bagian basal karena lebih tebal dan
jauh lebih lebih kurang di apical, dimana di sini lebih lebar dan lebih tipis.
Kondisi ini disebabkan oleh penebalan dan kekakuan sekunder membrane basilaris
koklea. Terjadi perubahan gerakan mekanik dari duktus koklearis dan atrofi dari
ligamentum spiralis. Berhubungan dengan tuli sensorineural yang berkembang
sangat lambat.
2.3.5
Tanda dan gejala
Tanda
utama presbikusis adalah terjadinya penurunan sensitivitas ambang suara pada
frekuensi tinggi. Penderita presbikusis fungsi pendengarannya berkurang secara
perlahan-lahan, progresif, dan simetris pada kedua telinga. Penderita akan
merasa bahwa teinganya berdenging. Pasien dapat mendengar suara percakapan
tetapi sulit memahaminya, terutama bila cepat dan latarnya riuh. Bila
intensitas ditinggikan akan timbul rasa nyeri. Dapat disertai tinnitus dan
vertigo (Mansjoer dkk, 2009).
Menurut
Luekenotte (1997), beberapa dari tanda dan gejala yang paling umum dari
penurunan pendengaran :
1. Kesulitan mengerti pembicaraan;
2. Ketidakmampuan untuk mendengarkan
bunyi-bunyi dengan nada tinggi;
3. Kesulitan membedakan pembicaraan; bunyi
bicara lain yang parau atau bergumam;
4. Masalah pendengaran pada kumpulan yang
besar, terutama dengan latar belakang yang bising;
5. Latar belakang bunyi berdering atau
berdesis yang konstan;
6. Perubahan kemampuan mendengar konsonan
seperti s, z, t, f dan g;
7. Suara vokal yang frekuensinya rendah
seperti a, e, i, o, u umumnya relatif diterima dengan lengkap.
2.3.6
Patofisiologi
Bertambahnya usia akan mengakibatkan degenerasi primer di organ corti,
yaitu berupa hilangnya sel epitel saraf yang dimulai pada usia pertengahan, terjadi
degenerasi pada serabut aferen dan eferen sel sensorik dari koklea dan juga terjadi
perubahan pada sel ganglion siralis di basal koklea. Selain itu elastisitas
membran basalis di koklea dan membrana timpani juga akan menurun. Suplai darah
dari reseptor neurosensorik mungkin juga akan mengalami gangguan, seingga
jalura auditorik dan lobus temporalis otak akan terganggu.
2.3.7
Komplikasi dan prognosis
Presbikusis dapat menyebabkan resiko yang lebih tinggi untuk Tuli.
Kemampuan mendengar penderita presbikusis akan berkurang secara berangsur,
biasanya terjadi bersamaan pada kedua telinga. Telinga menjadi sakit bila lawan
bicaranya memperkeras suara. Selain itu penderita presbikusis juga mengalami
kesulitan dalam memahami percakapan terutama di lingkungan bising, hal ini
disebabkan oleh berkurangnya kemampuan membedakan (diskriminasi) suku kata yang
hampir mirip.
Hal lain
yang terjadi pada penderita presbikusis adalah masalah fisik dan emosional
antara lain berupa :
a.
Terganggunya
hubungan perorangan dengan keluarga
b.
Kompensasi
tingkah laku akibat gangguan pendengaran :
c.
Pemarah dan
mudah frustrasi
d.
Depresi,
menarik diri dari lingkungan (introvert)
e.
Merasa
kehilangan kontrol pada kehidupannya
f.
Waham curiga
(paranoid)
g.
Self-criticism
h.
Berkurangnya
aktivitas dengan kelompok sosial
i.
Berkurangnya
stabilitas emosi.
2.3.8
Pengobatan
Menurut
Mansjoer dkk (2008), penatalaksanaannya dapat memasangkan alat bantu dengar
dikombinasikan dengan latihan membaca ujaran dan latihan mendengar oleh ahli
terapi wicara. Yang penting adalah pengertian dari orang sekitarnya untuk
berbicara dengan pelan, jelas, dengan kata-kata yang pendek dan tidak keras.
Menurut
dr. MS Wiyadi, pengobatan presbikusis didasarkan pada empat efek kelompok
obat-obatan yaitu:
a. Hormon
Pernah
dicoba dengan hormone hipofise secara intravena. Ada yang mencoba hormone
wanita pada wanita usia lanjut. Kemudian kedua seks hormone dikombinasi dan
diberikan pada penderita. Mungkin tinitusnya berkurang atau pendengaran
subjektif sedikit membaik, tapi secara objektif masih diragukan.
b. Vasodilator
Seperti
asam nikotinat dan derivatnya menyebabkan vasodilatasi perifer, dan pemberian
dosis tinggi dalam waktu yang lama menurunkan bloodlipid pada orang
hiperkolesterolimia. Efek terapeutik pada presbikusis disebabkan oleh dilatasi
koklear dan pembuluh darah di otak akibat aksi lipopreteinolitik dari obat
tersebut. Contoh lain misalnya ronicol dan hydergin.
c. Obat lipoproteinolitik
Heparin
i.v. 250 mg setiap hari selama 8 hari. Kemajuan audiometric didapat pada 25%
penderita. Vertigo dan tinnitus menghilang pada 45% penderita.
d. Vitamin
Vitamin
B kompleks memberikan 43,5% kemajuan dalam pendengaran. Data-data terperinci
dari laporan Weston ini tidak diberitakan. Vitamin A banyak dicoba dengan hasil
yang lebih memuaskan.
Berikut
ini adalah beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan
presbikusis:
a. Audiometric nada murni, akan menunjukkan
tuli saraf nada tinggi, bilateral dan simetris;
b. Audiometric tutur, menunjukkan adanya
gangguan diskriminasi wicara (speech discrimination) dan biasanya keadaan ini
terlihat pada presbikusis jenis neural dan koklear;
c. Tes penala, menunjukkan tuli
sensorineural.
2.3.9
Pencegahan
Menurut
dr. MS Wiyadi terdapat dua factor yang relevan dalam pencegahan, yaitu dengan hindari
suara keras, ramai dan kebisingan, hindari diet yang berlemak.
Hal-hal
lain yang dianjurkan ialah hindari dingin yang berebihan, rokok yang berlebihan
dan stress. Anemia, kekurangan vitamin dan insufisiensi kardiovaskular juga
harus segera diobati.
4.1.3 Intervensi Keperawatan Otoksisitas
No.
|
Diagnosa
|
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Rencana
|
Rasional
|
1.
|
Gangguan
sensori persepsi berhubungan dengan kerusakan koklea atau saraf pendengaran
dan organ vestibuler
|
Tujuan:
pasien akan
dapat kembali normal pada pendengarannya
Kriteria Hasil:
1.
Mengakui
perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residu
2.
Mendomenstrasikan
perubahan perilaku/ gaya hidup untuk mengkompenisasi / elefisit hasil
pendengaran
|
1.
Kaji
riwayat kesehatan lainnya
2.
Beri
posisi nyaman kepada pasien
3.
Posisikan
pasien sesuai prosedur pelaksanaan
4.
Anjurkan
pasien untuk melaporkan kesulitan pendengaran tinnitus atau pusing
5.
Elaborasi
dengan dokter utnuk tindakan operasi
|
1.
Mengetahui
lebih jelas apakah pasien memiliki riwayat sebelumnya
2.
Memberikan
rasa aman dan nyaman klien
3.
Memberi
ruang kepada tenaga kesehatan dalam tindakan perawatan
4.
Untuk
menentukan data dasar dan tes audiologi mungkin dilakukan sebelum terapi
5.
Untuk
mencegah kehilangan fungsi pendengaran secara permanen dan mempercepat proses
perawatan.
|
2.
|
Gangguan rasa nyaman
(nyeri) berhubungan dengan gangguan saraf pendengaran
|
Tujuan: pasien akan dapat beradaptasi dengan
kondisinya
Kriteria Hasil:
1.
Pasien merasa nyaman
2.
Pasien merasa tidak kesakitan lagi
|
1.
Kaji struktur dari telinga pasien
2.
Kaji lingkungan pasien
3.
Ajarkan pasien untuk saling berbagi informasi
terhadap penyakitnya
4.
Berikan reward terhadap tindakan yang dilakukan
5.
Elaborasi dengan tim kesehatan lainnya
|
1. Untuk
mengetahui masalah pasien
2. Memberikan
rasa nyaman pasien
3. Untuk menjaga
supaya tidak terjadi kehilangan pendengaran yang permanen
4. Memberikan
motivasi pasien untuk bisa beradaptasi
5. Mempercepat
proses perawatan
|
3
|
Kurang pengetahuan
berhubungan dengan keterbatasan informasi tentang obat
|
Tujuan:
Pasien dapat memahami terkait kesehatnnya.
Kriteria hasil
1. Klien mengatakan telah mengetahui tentang proses
penyakit, prosedur tindakan dan pengobatan
2. Klien dan keluarga mengatakan mengetahui dan paham
tentang penyakitnya
|
1.
Kaji
proses kebisingan dan pendengaran dan harapan klien yang akan datang
2.
Diskusikan
perlunya pengetahuan yang cukup mengenai proses terjadinya penyakit agar
klien tidak salah dalam menginterprestasikan suara atau tingkah laku
nonverbal orang lain.
3. Berikan informasi khusus tentang proses pengobatan yang
akan di lakukan
|
1.
memberiakn
pengetahuan dasar tentang proses terjadinya penyakit
2.
agar
klien tidak salah interprestasikan dan paham tentang apa yang telah terjadi
dengan diri klien
3.
meningkatkan
pengetahuan tentang prosedur tindakan / pengobatan yang di lakukan
|
4.1.4 Implementasi
No
|
Hari/tanggal
|
Diagnosa
Keperawatan
|
Implementasi
|
Paraf
|
1.
|
Rabu 17 Mei 2013
|
Gangguan persepsi sensori
berhubungan dengan kerusakan koklea atau saraf pendengaran dan organ
vestibuler
|
1.
Telah mengkaji
riwayat kesehatan lainnya
2.
Telah
diberikan posisi nyaman kepada pasien
3.
Telah memposisikan
pasien sesuai prosedur pelaksanaan
4.
Telah
menganjurkan pasien untuk melaporkan kesulitan pendengaran tinnitus atau
pusing
5.
Telag berelaborasi
dengan dokter utnuk tindakan operasi
|
![]() |
2
|
Rabu 17
Mei 2013
|
Gangguan
rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan gangguan saraf pendengaran
|
1.
Telah mengkaji struktur dari telinga pasien
2.
Telah mengkaji lingkungan pasien
3.
Telah mengajarkan pasien untuk saling berbagi
informasi terhadap penyakitnya
4.
Relah memberikan reward terhadap tindakan yang dilakukan
5.
Telah berelaborasi dengan tim kesehatan lainnya
|
![]() |
|
|
|
||
4
|
Rabu 17
Mei 2013
|
|
1.
Telah mengkaji proses kebisingan dan
pendengaran dan harapan klien yang akan datang
2.
Telah berdiskusikan perlunya pengetahuan
yang cukup mengenai proses terjadinya penyakit agar klien tidak salah dalam
menginterprestasikan suara atau tingkah laku nonverbal orang lain.
3.
Telah memberikan informasi khusus tentang
proses pengobatan yang akan di lakukan
|
![]() |
4.2.5
Evaluasi Keperawatan
No
|
Hari/tanggal
|
No. dx
|
jam
|
Evaluasi
|
Paraf
|
1.
|
Rabu 17 Mei 2013
|
1
|
14.00
|
S : klien mengatakan ada perbaikan dalam pendengaran dank
lien mengatakan bahwa klien dapat mendengarkan semua yang dibicarakan oleh
perawat.
O : Klien memperlihatkan suatu
peningkatan kemampuan untuk berkomunikasi, klien tempak berespon dengan cepat
saat diajak berbicara
A : masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
|
![]() |
4.2.3
intervensi keperawatan presbiakusis
No
|
DIAGNOSA KEPERAWATAN
|
Tujuan Dan Kriteria Hasil
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
11
|
Gangguan komunikasi
verbal berhubungan dengan degenerasi tulang pendengaran bagian dalam ditandai
dengan
Data Subjektif
a.
Klien susah mendengar
rangsang berupa suara
b.
Klien susah mendengar
atau menerima pesan
c.
Klien tidak mengerti
terhadap pembicaraan orang
Data Objektif
a. Lambat berespon terhadap rangsang suara
b. Klien nampak bingung jika diajak bicara
c. Klien meminta untuk mengulangi pembicaraan atau pesan
d. Komunikasi sebagian besar berjalan melalui pesan-pesan
tertulis dan perantara anggota keluarga.
|
Tujuan:
komunikasi verbal
pasien dapat berjalan dengan baik
kriteria hasil:
pasien dapat
melakukan proses komunikasi dengan baik
|
1. Kaji tingkat
kemampuan klien dalam penerimaan pesan
2. Periksa apakah
ada serumen yang mengganggu pendengaran
3. Bicara dengan
pelan dan jelas
4. Gunakan alat
tulis pada waktu menyampaikan pesan
5. Beri dan
ajarkan klien pada penggunaan alat bantu dengar
|
1.
untuk mengetahui sejauh mana
kemampuan pasien untuk mendengar.
2.
Untuk mengidentifikasi
apakah terdapat serum yang dapat menyumbat lubang telinga, sehingga
pendengaran dapat berkurang.
3.
Agar pasien dapat menangkap
pesan dari pembicaraan yang dilakukan oleh perawat
4.
alat tulis adalah salah satu
media yang dapat membantu dalam berkomunikasi.
5.
Penggunaan alat bantu
pendengaran merupakan alat bantu yang sagat penting untuk membantu proses
pendengaran pasien
|
22
|
Harga diri rendah
berhubungan dengan fungsi pendengaran menurun
ditandai dengan:
Data
Subjektif
Keluarga
klien mengatakan bahwa:
a. Klien senang menyendiri
b. Klien menarik diri dari lingkungan
c. Klien tidak mau kumpul bersama keluarga
2.
Data Objektif
a. Klien suka duduk menyendiri
b. Klien mengekspresikan perasaan kesepian
c. Klien menarik diri lingkungan
d. Klien mengekspresikan perasaan kesepian
|
Tujuan:
pasien dapat
menerima keadaan dirinya dan bersosialisasi seperti biasanya.
Kriteria hasil:
Tidak menyendiri,
tidak menarik diri dari lingkungan, berinteraksi dengan orang lain.
|
1. Kaji
pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
2. Beri
kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab klien tidak mau
bergaul atau menarik diri
3. Diskusikan
bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda
serta
penyebab yang mungkin.
4. Beri pujian
terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaan.
5. Diskusikan
tentang keuntungan dari berhubungan dan kerugian dari perilaku menarik diri
6. Anjurkan
anggota keluarga untuk secara rutin dan bergantian mengunjungi klien
|
1.
untuk mengidentifikasi
apakah klien mengerti bahwa sebenarnya prilaku menarik diri merupakan suatu
hal yang merugikan bagi pasien.
2.
Untuk mengetahui penyebab
pasien memiliki ketidak percayaan diri untuk bersosialisasi sehingga pasien
berprilaku menarik diri.
3.
Diskusi adalah suatu
tindakan yang dapat dilakukan untuk memperoleh jalan keluar secara
bersama-sama
4. Untuk membina hubungan saling percaya dan Agar pasien memiliki rasa
bahagia dan lega setelah bercerita sehingga pasien akan lebih terbuka lagi.
5. Agar pasien memiliki gambaran positif sehingga dapat merubah kebiasaan
negatif menjadi kearah yang lebih positif lagi.
6. Agar pasien mulai terbiasa dengan hubungan berinteraksi dengan orang lain
sehingga lama kelamaan pasien mulai percaya diri.
|
3.
|
Kurang aktivitas
berhubungan dengan menarik diri lingkungan
ditandai dengan:
1. Data Subjektif
Keluarga klien
mengatakan bahwa:
a. Klien sulit mengikuti perintah untuk melakukan aktivitas
di rumah
b. Klien tidak mau mengikuti kegiatan sehari-hari di
masyarakat
2. Data Objektif
a.
Klien lebih banyak tidur
b.
Klien nampak gelisah atau bosan
c.
Sebagian besar
waktu klien digunakan untuk istirahat
|
|
1. Variasikan rutinitas sehari-hari
2. Libatkan sanak keluarga dalam merencanakan rutinitas
sehari-hari
3. Rencanakan suatu aktivitas sehari-hari
4. Berikan alat bantu dengar dalam melakukan aktivitas
|
1. Agar
pasien tidak jenuh dengan aktivitas yang monoton.
2. Peran dari
sanak keluarga sangat dibutuhkan untuk mendukung dan memotivasi pasien.
3. Agar
pasien memiliki gambaran terkait aktivitas yang akan pasien jalani.
4. Agar
pasien dapat berkomunikasi dan
berinteraksi dengan baik saat beraktivitas
|
4.2.4 Implementasi
No
|
Hari/tanggal
|
Diagnosa
Keperawatan
|
Implementasi
|
Paraf
|
1.
|
Rabu 17 Mei 2013
|
Gangguan
komunikasi verbal berhubungan dengan degenerasi tulang pendengaran bagian
dalam
|
1.
Kaji
tingkat kemampuan klien dalam penerimaan pesan
2.
Periksa
apakah ada serumen yang mengganggu pendengaran
3.
Bicara
dengan pelan dan jelas
4.
Gunakan
alat tulis pada waktu menyampaikan pesan
5.
Beri dan
ajarkan klien pada penggunaan alat bantu dengar
|
![]() |
4.2.5
Evaluasi Keperawatan
No
|
Hari/tanggal
|
No. dx
|
jam
|
Evaluasi
|
Paraf
|
1.
|
Rabu 17 Mei 2013
|
1
|
14.00
|
S : - Klien mengungkapkan dapat menerima pesan berupa
kata-kata melalui media alternatif tulisan
- Klien mengatakan sudah mengerti tentang apa yang diungkapkan.
O : - Klien memperlihatkan suatu
peningkatan kemampuan untuk berkomunikasi
- Klien menggunakan alat bantu dengar dengan tepat
A : masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
|
![]() |
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN
4.1
Asuhan
Keperawatan Tuli Toksik
4.1.1
Pengkajian
a.
Identitas (Data Biografi)
Nama
|
:
|
No. RM
|
:
|
Umur
|
:
|
Pekerjaan
|
:
|
JenisKelamin
|
:
|
Status
Perkawinan
|
:
|
Agama
|
:
|
Tanggal MRS
|
:
|
Pendidikan
|
:
|
TanggalPengkajian
|
:
|
Alamat
|
:
|
SumberInformasi
|
:
|
b.
Riwayat Kesehatan
Keluhan utama:
pasien tampak tergangguan pendengaran
c.
Riwayat kesehatan sekarang
Ototoksisitas
akibat dari pemakaain obat-obatan yang menggagu kerja dari proses pendengaran,
kerusakan koklea atau saraf pendengaran dan organ vestibuler.
d.
Pengkajian Berdasarkan Pola Gordon
1)
Persepsi
kesehatan dan Pola manajemen
Orang tua pasien mengetahui bahwa pasien seringkali tidak
mendengar perintahnya dan keluarga tidak tahu cara mengatasinya.
2)
Pola
nutrisi dan metabolisme
Pola pemenuhan nutrisi kurang dan proses metabolisme
tidak berjalan dengan baik khususnya saraf pendengarannya.
3) Pola eliminasi
Pasien tidak mengalami gangguan eliminasi
miksi dan defekasi.
4) Pola aktivitas dan latihan
Dalam melakukan aktivitas, pasien biasanya
mengalami gangguan akibat nyeri yang di rasa sehingga pasien akan rewel.
5) Pola istirahat dan tidur
Pasien mengalami gangguan tidur akibat
nyeri yang dirasakan.
6) Pola persepsi dan kognitif
Pasien merasa lebih tenang
apabila berada ditengah keluarga terutama ibu yang peduli pada kondisi pasien,
dan pasien sedih apabila ditinggal keluarga.
7) Pola konsep diri
Pasien merasa ragu-ragu untuk
berkomunikasi karena tidak dapat memberikan informasi sesuai kondisi.
8) Pola peran dan hubungan
Hubungan sosial pasien dengan orang
disekitarnya tidak kooperatif, pasien lebih banyak menangis dan rewel.
9) Pola seksualitas dan reproduksi
Pasien tidak mengalami kelainan.
10) Pola keyakinan dan nilai
Keluarga pasien selalu berdoa untuk
kesembuhan pasien.
4.1.2
Diagnosa
Keperawatan
1.
Gangguan sensori persepsi berhubungan dengan kerusakan
koklea atau saraf pendengaran dan organ vestibuler;
2.
Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan
gangguan saraf pendengaran;
3.
Gangguan keseimbangan berhubungan dengan kerusakan
organ vestibuler
4.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan
informasi tentang obat
4.2
Asuhan Keperawatan Presbikusis
4.2.1
Pengkajian
a. Identitas
Klien
Nama
|
:
|
No. RM
|
:
|
Umur
|
:
|
Pekerjaan
|
:
|
JenisKelamin
|
:
|
Status
Perkawinan
|
:
|
Agama
|
:
|
Tanggal MRS
|
:
|
Pendidikan
|
:
|
TanggalPengkajian
|
:
|
Alamat
|
:
|
SumberInformasi
|
:
|
b.
Keluhan Utama
Keluhan utama yang dirasakan oleh
pasien presbiakusis adalah sulit untuk mendengar pesan atau adanya rangsangan
suara.
c.
Riwayat kesehatan
1)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien susah mendengar pesan atau
adnya suara. Kien sering kali tidak mengerti ketika diajak bicara karena tidak
mendengar apa yang lawan bicaranya katakan, pasien sering kali meminta lawan
bicaranya untuk mengulang kalimat yang diucapkan, pasien sering menyendiri.
Pasien sering meyendiri karena merasa malu, karena sering kali tidak paham ketika
diajak berbicara, pasien juga menark diri dari lingkungan dan anggota
keluarganya.
2)
Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Adakah riwayat pasien menderita
hipertensi dan diabetes militus, pasien dengan riwayat merokok dan juga sering
terpapar oleh suara bising.
3)
Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah keluarga yang menderita
penyakit diabetes militus, menderita penyakit pada sisitem pendengaran.
d.
Pola Fungsi Kesehatan menurut Gordon
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan
kesehatan
Pasien biasanya terpapar dengan suara
bising dalam waktu yang cukup lama dan adanya riwayat merokok.
b. Pola aktifitas dan latihan
Pola aktivitas dan latihan pada
pasien terganggu karena adanya gangguan pendengaran.
c. Pola tidur dan istirahat
Pasien presbiakusis sering tidur dan
istirahat untuk mengisi waktu luangnya, karena merasa malu jika berkumpul
dengan orang lain.
d. Pola persepsi kognitif dan sensori
Pasien presbiakusis mengalami
penurunan kemampuan masuknya rangsang suara dan pasien kurang mampu mendengar
perkataan seseorang.
e. Pola persepsi dan konsep diri
Pasien mengalami perasaan tidak
berdaya, putus asa dan merasa minder/rendah diri.
f. Pola peran dan hubungan dengan sesama
Pasien sering menarik diri dari
lingkungan dan merasa malu untuk berkomunikasi dengan orang lain.
g. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap
stres
Adanya perasaan cemas, takut pada pasien presbiakusis, pasien sering
menyendiri, pasien mudah curiga dan tersinggung.
4.2.2
Diagnosa Keperawatan
1.
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan
degenerasi tulang pendengaran bagian dalam
2.
Harga diri rendah berhubungan dengan fungsi
pendengaran
3.
Kurang aktivitas berhubungan dengan menarik diri dari
lingkungan
4.
Risiko cidera berhubungan dengan menurunnya fungsi
pendengaran
BAB 3. PATHWAY
3.1 Pathway Tuli Toksik

DAFTAR PUSTAKA
Abdulbari, Bener. 2008. Association between Hearing Loss & Type
2 DM in Elderly People in a Newly Developed Society.
http://eprints.undip.ac.id/31380/3/Bab_2.pdf. [Diunduh Pada Tanggal 9 Mei
2013].
Adams, George L
dkk. 1997. Boies : Buku Ajar Penyakit THT
(Boies Fundamentals of etolaryngology). Jakarta : EGC
Brunner &Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Kern, Eugene B.
Dkk. 1991. Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan (Disease of theEars,Nose, and Throat). Jakarta : EGC
Ditta, Ervi Ana. 2010. Makalah ototoksisitas.
http://www.scribd.com/doc/117609085/makalah-ototoksisitas. [Diunduh Pada
Tanggal 9 Mei 2013]
Fernanda, Maria. 2009. Relation between Arterial Hypertension &
Hearing Loss. http://eprints.undip.ac.id/31380/2/Bab_1.pdf. [Diunduh Pada
Tanggal 9 Mei 2013].
Karen, J Cruickshanks. 1998. Cigarette Smoking and Hearing Loss Study.
http://eprints.undip.ac.id/31380/2/Bab_1.pdf. [Diunduh Pada Tanggal 9 Mei
2013].
Mansjoer, A., dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Jakarta:
Media Aesculapius.
Mills JH, Megerian CA, Lambert PR. 2009.
Presbyacusis and presbyastasis. In: Snow
JB, Wackym PA, eds. Ballanger’s otorhinolaryngology head and neck surgery.
17th ed. New York: BC Decker Inc;. p.333-42.
Wiyadi, MS. 1979. Pemeliharaan Pendengaran. Majalah Kedokteran Surabaya.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/04_PendengaranPadaUsiaSenja.pdf/04_PendengaranPadaUsiaSenja.pdf
. [Diunduh Pada Tanggal 9 Mei 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar